Kisah menegangkan datang dari wilayah perbatasan Indonesia-Papua Nugini (PNG), tepatnya di Keerom, Papua. Tiga guru Sekolah Dasar (SD) setempat dilaporkan nyaris dijemput paksa oleh personel militer Papua Nugini saat mereka berada di dekat garis batas negara. Insiden ini, yang terjadi di tengah upaya pemerintah untuk meningkatkan pemerataan pendidikan di daerah terpencil, menyoroti kompleksitas dan tantangan hidup di wilayah perbatasan.
Peristiwa ini terjadi pada hari Senin, 20 Mei 2024, sekitar pukul 14.00 WIT, saat ketiga guru tersebut—Ibu Maria, Bapak Lukas, dan Ibu Agnes—sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah menuju permukiman mereka yang lokasinya tidak jauh dari Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Skouw. Mereka disebut-sebut sedikit melewati garis batas imajiner yang sering kali tidak terlalu jelas di area hutan. Tanpa disadari, beberapa personel militer PNG yang sedang berpatroli mendekati mereka dengan gestur mengancam, seolah hendak melakukan penangkapan.
Menurut keterangan Kapolres Keerom, AKBP Muchtar Lutfi, yang disampaikan dalam konferensi pers pada hari Rabu, 22 Mei 2024, pukul 10.00 WIT di Mapolres Keerom, tindakan cepat dari masyarakat setempat dan personel TNI yang bertugas di pos perbatasan menjadi kunci penyelamatan para guru. “Masyarakat yang melihat kejadian itu segera berteriak meminta bantuan, dan anggota Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan (Satgas Pamtas) Yonif Mekanis 403/WP, yang dipimpin oleh Letda Inf. Budi Santoso, segera bergerak ke lokasi,” jelas AKBP Muchtar. Kehadiran pasukan TNI yang sigap membuat militer PNG mengurungkan niatnya dan segera berbalik arah. Ini bukan kali pertama insiden semacam ini terjadi, menunjukkan bahwa kehidupan di perbatasan sering diwarnai dinamika yang tidak terduga.
Insiden nyaris dijemput paksa ini juga mengindikasikan perlunya koordinasi yang lebih intensif antara kedua negara terkait patroli di wilayah perbatasan. Ketidakjelasan patok batas atau area abu-abu seringkali memicu kesalahpahaman. Pihak kepolisian dan TNI di Keerom telah meningkatkan patroli dan sosialisasi kepada warga, terutama yang tinggal di area rawan, agar lebih berhati-hati saat beraktivitas di dekat perbatasan untuk menghindari terulangnya kejadian serupa.
Ketiga guru tersebut kini dalam keadaan aman dan telah kembali beraktivitas seperti biasa. Namun, pengalaman nyaris dijemput paksa ini meninggalkan trauma dan kekhawatiran. Pemerintah daerah dan instansi terkait diharapkan terus memberikan perhatian dan perlindungan ekstra bagi para pahlawan tanpa tanda jasa ini yang berdedikasi mencerdaskan anak bangsa di garda terdepan. Kejadian ini menjadi pengingat bahwa tantangan hidup di perbatasan tidak hanya seputar infrastruktur, tetapi juga terkait keamanan dan kedaulatan.
