Press "Enter" to skip to content

Membangun Kepercayaan Publik: Mengatasi Isu Rasuah dan Konflik Kepentingan

Integritas lembaga publik adalah pilar utama dalam sebuah negara demokratis. Ketika isu rasuah (korupsi) dan konflik kepentingan merajalela, fondasi ini goyah, dan akibatnya, proses Membangun Kepercayaan Publik menjadi tantangan yang sangat berat. Rasuah bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mengikis keadilan sosial, menghambat pembangunan, dan menciptakan budaya sinisme terhadap birokrasi. Oleh karena itu, langkah-langkah penegakan hukum yang tegas, reformasi sistemik, dan peningkatan transparansi harus dilakukan secara simultan untuk memastikan proses Membangun Kepercayaan Publik dapat kembali pulih dan diperkuat dalam jangka panjang.


Penegakan Hukum yang Tegas dan Tanpa Pandang Bulu

Strategi pertama untuk Membangun Kepercayaan Publik adalah demonstrasi komitmen penegak hukum yang kuat dan tidak pandang bulu terhadap pelaku rasuah. Institusi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, dan Kejaksaan Agung harus bekerja secara independen dan profesional. Kecepatan dan ketepatan dalam menangani kasus-kasus besar (megakorupsi) sangat memengaruhi persepsi masyarakat.

Sebagai contoh, pada kasus dugaan korupsi pengadaan sistem telekomunikasi yang menjadi sorotan nasional, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, melalui Direktur Penyidikan Jampidsus, Dr. Ahmad Syarif, S.H., M.H. (bukan nama sebenarnya), pada Kamis, 18 Juli 2025, mengumumkan penetapan 12 tersangka yang melibatkan pejabat tinggi dan pihak swasta. Pengumuman ini diikuti dengan penyitaan aset senilai total Rp 500 Miliar yang diyakini berasal dari hasil kejahatan. Tindakan cepat dan pengembalian kerugian negara yang signifikan ini mengirimkan pesan jelas bahwa impunitas tidak akan ditoleransi, yang sangat vital dalam memulihkan keyakinan masyarakat.


Reformasi Sistemik untuk Mencegah Konflik Kepentingan

Rasuah dan konflik kepentingan sering kali berakar pada celah dalam sistem birokrasi, bukan hanya kelemahan moral individu. Oleh karena itu, upaya pencegahan harus berfokus pada reformasi sistemik. Penerapan Reformasi Birokrasi Digital adalah salah satu solusi efektif, yang menciptakan jejak audit yang jelas dan mengurangi interaksi tatap muka yang rentan terhadap suap.

Lebih spesifik lagi, pemerintah perlu memperkuat regulasi mengenai konflik kepentingan. Pegawai negeri atau pejabat yang memiliki wewenang membuat keputusan terkait pengadaan barang dan jasa harus secara ketat dideklarasikan. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) telah mewajibkan seluruh pejabat publik mengisi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) secara online dan memperbarui dokumen Pakta Integritas mereka setiap tahun pada bulan Maret, mulai tahun 2025. Kewajiban ini bertujuan memetakan potensi konflik antara kepentingan pribadi dan tugas publik, sebelum potensi penyimpangan terjadi.


Peran Keterbukaan Data dan Audit Publik

Keterbukaan data dan partisipasi publik adalah katalisator dalam proses Membangun Kepercayaan Publik. Ketika data mengenai anggaran, kontrak proyek, dan hasil audit mudah diakses oleh masyarakat, peluang bagi tindakan yang tersembunyi akan berkurang.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki peran kunci dalam audit keuangan negara. Pada Semester I Tahun 2025, BPK menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengungkapkan adanya 582 temuan yang berindikasi kerugian negara. Publikasi temuan ini, yang dirilis BPK pada Jumat, 29 Agustus 2025, memberikan amunisi bagi media dan masyarakat sipil untuk menuntut tindak lanjut dari K/L terkait dan penegak hukum. Dengan adanya transparansi ini, tekanan dari publik memaksa pemerintah untuk bertindak cepat, sekaligus memperkuat peran pengawasan sipil yang merupakan elemen penting dari tata kelola yang baik.

journal.pafibungokab.org

learn.pafipemkotkerinci.org

news.pafipemkotpalopo.org