Guru Honorer adalah pilar penting dalam sistem pendidikan nasional, seringkali mengisi kekosongan tenaga pendidik yang tidak terakomodasi oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ironisnya, pengabdian besar mereka tidak sebanding dengan penghargaan yang diterima. Dengan gaji bulanan yang sangat minim, bahkan di bawah upah minimum regional, banyak terpaksa hidup dalam kesulitan finansial. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang berjuang keras mempertahankan martabatnya.
Keterbatasan gaji ini membawa pada jurang utang. Untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, biaya transportasi ke sekolah, atau bahkan biaya pengembangan diri, banyak yang terpaksa meminjam uang dari rentenir atau lembaga pinjaman daring (fintech). Utang ini menjadi rantai yang mengikat, mengurangi fokus mereka dari tugas utama mendidik generasi bangsa.
Isu struktural yang mendasari masalah ini adalah status kepegawaian yang tidak jelas dan ketidakpastian kontrak. Status Guru Honorer yang tidak diakui sebagai pegawai tetap membuat mereka tidak memiliki akses ke tunjangan, jaminan kesehatan, atau pensiun yang layak. Keadaan ini menciptakan ketidakadilan sistemik, di mana kualitas pengabdian tidak dihargai secara profesional.
Dampak dari gaji kecil ini sangat terasa pada kualitas hidup pribadi dan profesional mereka. Sebagian Guru Honorer terpaksa mencari pekerjaan sampingan, seperti berdagang atau menjadi pengemudi ojek online, demi menutupi kekurangan. Energi dan waktu yang seharusnya dicurahkan untuk peningkatan kompetensi dan persiapan materi mengajar terpakai untuk mencari nafkah tambahan.
Pemerintah telah berupaya mengatasi masalah ini melalui skema pengangkatan menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Program ini diharapkan memberikan kepastian status dan peningkatan kesejahteraan. Namun, kuota yang terbatas dan proses seleksi yang ketat membuat harapan ini belum dapat menjangkau seluruh Guru Honorer yang telah mengabdi puluhan tahun.
Diperlukan perubahan kebijakan pendanaan pendidikan yang lebih berpihak pada Guru Honorer. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) harus diregulasi lebih ketat untuk memastikan alokasi gaji guru honorer mencapai batas minimum yang layak. Kesejahteraan mereka harus menjadi prioritas utama alokasi anggaran daerah dan pusat.
Pengakuan formal terhadap pengabdian mereka melalui jalur non-PNS yang bermartabat harus dipercepat. Sertifikasi dan pelatihan harus diberikan secara gratis, serta akses ke program kesehatan dan perlindungan sosial harus dibuka. Ini adalah bentuk pengakuan negara terhadap peran penting mereka dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Mengakhiri penderitaan finansial Guru Honorer bukan hanya tugas moral, tetapi juga investasi strategis untuk kualitas pendidikan. Negara harus memastikan bahwa para pahlawan tanpa tanda jasa ini dapat fokus mendidik dengan hati dan pikiran yang tenang, bebas dari jeratan utang dan ketidakpastian masa depan. Sumber
